Blogroll

2/6/12

Sang Jurnalis


Kaki kecil itu telah sampai pada hektaran tanah kering dengan diliputi debu dan peluh penderitaan seakan menganga ke arahnya, wajah Tiara meringis melihat kenyataan pahit yang terjadi di depan matanya. Matanya menerawang ke arah sisi jalan tol  yang dipenuhi  Asap knalpot yang arogan dengan bos – bos besar yang masa bodoh dengan tangan – tangan kelaparan. Nyonya – nyonya  bermake-up  tebal dengan angkuhnya melenggang dan melangkahi perut – perut miskin. “ayah, apa ini? Mengapa orang yang lalu lalang enggan untuk membantu mereka?” tanya si kecil Tiara pada ayahnya. “itulah yang tidak boleh kau lakukan untuk negeri ini, Tiara” ayahnya mengelus rambut ikal Tiara kecil yang terlihat manis dengan senyum yang mirip mamanya. Dengan pita merah yang mengikat rambutnya dan baju dress berenda khas anak tahun 1970-an. “ayah, apa maksud ayah?” tanya Tiara lagi. “belum waktunya Tiara, nanti saat kau tumbuh dengan pekarangan rumah yang dipenuh ribuan bunga matahari. Saat itulah kau akan mengerti , arti sebuah bangsa bagi kami” Tiara masih tidak bisa mengerti, namun baginya ayahlah yang terhebat yang bisa membesarkan dan mengajarinya sampai sejauh ini.  Tiarap!” tiba – tiba semua orang di hadapannya berlari seperti bagian film action yang pernah ditontonnya. Gemuruh suara letusan dan granat berkobar dengan semangat pemuda – pemuda yang lari ke depannya. Ayah berusaha membawa Tiara pergi meninggalkan tempat yang menurut Tiara sangat mengerikan. Tiara hampir menangis kalau saja ayahnya tidak membawanya pergi. Penjajahan belum saja berhenti, tiba – tiba badan besar yang memeluknya ambruk dan lemah “ayah!” tiara menangis dan memanggil nama ayahnya berkali – kali, tiba – tiba seorang lelaki bertubuh tegap menariknya dan membawanya pergi. Tiara telah kehilangan seorang ayah, seorang tentara dan pembela tanah air. Orang terhebat yang pernah datang dalam hidupnya. Rupanya pria tegap yang menolongnya adalah teman seperjuangan ayah, Pak Dito Pradiotironing namanya.
Berita penjajahan yang telah terjadi di daerah Yogyakarta  ini telah sampai pada keluarga syah Tiara yang tinggal di Belitung yang kala itu mengkhawatirkan anggota keluarganya. Oleh Pak Dito, Tiara dibawa ke Belitung. Meskipun hari yang menakutkan itu telah berlalu terkubur bersama seorang lelaki kuat yang sangat ia sayangi, namun Tiara masih  saja menangis dan syok karena kejadian itu spontan terjadi di depan matanya. Suara Dentuman pelor yang ditembak, darah yang bersimbah dan melapisi tanah kering. Wajah – wajah miskin yang telah menjadi mayat semua nyata di depan matanya. Tercatat pada diary kecil bersampul biru “Peristiwa 11 maret”.

10 tahun kemudian..
Tiara tumbuh dewasa dengan ribuan bunga matahari mengelilingi pekarangan rumahnya seperti apa yang ayahnya ceritakan sepuluh tahun yang lalu, Indonesia saat ini sebuah dunia baru baginya sebuah negara yang lengang dengan banyak orang –orang lalu lalang, penjajahan dan pertumpahan darah pun tidak tampak seperti dulu. Rumah berpagar kayu klasik bernomor 44B di daerah Menteng merupakan  tempatnya bernaung kini.  Rumah yang sengaja dindingnya dicat jingga akan terlihat seperti api saat matahari terbenam. Pohon waru sebagai pimpinan pohon di pekarangannya tampak rimbun dengan beberapa bagian diantaranya jatuh atau dibawa angin sampai melayang keluar, kemudian pohon – pohon kecil mengisi sepanjang jalan pekarangan, di halaman belakang terlihat sebuah kolam renang yang biasa digunakan Tiara untuk berenang. Sejak kejadian naas itu, Tiara dititipkan di keluarga ayahnya di Belitung. Lalu sejak SMA diboyong bibinya ke Jakarta.
Sore itu di rumah Tiara tampak wanita paruh baya yang selama ini  ia kenal sebagai seorang  bibi  sedang  giat mengurusi kebun bunga mataharinya, Tiara memandang wanita itu lekat – lekat sembari menyeruput segelas teh yang sudah dibuatkan bibinya 1 jam yang lalu. Di atas meja belajarnya yang sengaja diletakkan dengan posisi menghadap jendela tampak Tiara sedang mengurus naskah – naskah skenario, sesekali ia melemparkan pandangannya ke luar jendela dan bisa dengan leluasa melihat bibinya di  pekarangan bahkan  orang – orang yang lalu lalang di depan rumahnya. Kemudian ia mengambil sebuah surat kabar halaman Kompas, membaca lembaran demi lembaran. Sampai akhirnya sebuah nada panggilan muncul dari handphonenya. Tiara kaget ketika Pimpinan redaksinya harus mengirimnya ke Irak untuk sebuah tugas peliputan perang, Tiara yang semula ragu kemudian mencoba untuk yakin demi sebuah berita dan informasi untuk dunia dan negaranya.
Tepat di Boarding Room, Rena dan seorang kameramen, Langit sedang menunggu sambil membayangi apa saja yang akan terjadi di medan perang nanti, Rena sangat menyukai tantangan  dan terlebih lagi masuk dan meliput kejadian perang yang kontemporer adalah impiannya, menjadi orang pertama dan memelopori jurnalistik lainnya. Disisi lain,  Tak ada yang bisa terbayang lagi di pikiran langit selain apa yang nantinya akan dia shoot saat itu , mewartakan sebuah berita yang terjadi secara langsung di mana penonton dari seluruh dunia bisa menyaksikan dari pesawat televisi di rumah mereka  masing - masing.  Namun, ini seperti membuka luka lama bagi Tiara yang sangat takut dengan peperangan, sehingga mengingatkannya akan catatan 11 Maret itu, sebuah catatan dan kejadian yang membuat luka panjang di memorinya. Kejadian yang membuatnya kehilangan seorang Ayah.
Jam dinding tua yang berwarna hitam klasik berdentang nyaring dan menandakan pukul 6 sore. Saat itu Tiara mengenakan jaket tebal hitam, syal batik berwarna coklat favoritnya, celana jeans , dan sneakers. Sesudah berpamitan dengan bibinya Tiara pun mulai melaju ditemani mobil Kiat Esemka  merah miliknya yang merupakan mobil hasil rakitan anak negeri yaitu siswa SMK Solo yang bekerjasama dengan Kiat Motor,  sepanjang jalan lagu Pasti Ku Bisa milik Sheila on 7 menjadi soundtrack keheningan di mobil.
Pasti ku bisa melanjutkannya
Pasti ku bisa menerima dan melanjutkannya
Ooh pasti ku bisa menyembuhkannya
Cepat bangkit dan berfikir
Semua tak berakhir disini

Merasakan pandanganmu
Penuh cerita dan luka
Memang begitulah semua
Sesampainya di bandara, Tiara tampak ragu melanjutkan langkahnya yang lemah rasa itu mulai tampak seperti saat ia kehilangan ayahnya, dan kini  di hadapannya terpampang tulisan tebal “Boarding Room” lalu  apa yang ada dalam pikirannya seperti sebuah film yang diputar flashback dan terjadi secara cepat.
Namun ia teringat akan satu hal, kejadian 15 tahun yang lalu..
“Ayah, Tiara tidak  mau naik ini” teriak Tiara kecil di sebuah arena permainan di pusat kota waktu itu. “Tiara kamu kenapa, bukankah tempat ini sangat kamu favoritkan?” Tanya ayahnya khawatir. “Karena tempat ini mengingatkan Tiara sama Biman” selaput bening di matanya tidak bisa dibendung lagi dan jatuh satu – satu, wajah Tiara sangat kehilangan. “Tiara sini dengan ayah” ayah memangku tiara kecil “Tiara kamu tahu kan obat itu rasanya pahit....” Tiara mengangguk sambil mengusap air matanya “...biarpun pahit tapi tetap harus diminum, sama kaya Tiara sekarang yang namanya kenangan harus disembuhin sama kenangan biarpun pahit dan sakit tapi tiara pasti akan sembuh” kata – kata ayah sangat mujarab bagi tiara, sebab karena kata itulah Tiara jadi tersenyum dan kembali bermain.
Tiara mulai berani melangkah, mengayunkan kedua kakinya dan menjawab setiap keraguan. Ia harus melewatinya. Sebuah kenangan yang penuh luka sedang menantinya disana.
“tadi dijalan macet” aku Tiara sambil terkekeh merasa tidak enak dengan kedua temannya
yang telah lama menunggu . “oke bukan masalah” Langit menyunggingkan senyum  pada
Tiara, “Nama kamu Tiara ya?” Tanya Rena sambil memberikan tangannya pada Tiara
“Kenalin namaku Rena, Rena Ridwan” Tiara pun membalas dan tersenyum “Tiara, Tiara
Sonia Prabangsa”  begitupun pada Langit “Langit Angkasaputra Subroto”
Berselang 15 menit setelah perkenalan itu, akhirnya perjalanan ketiga jurnalis ini pun dimulai. Pesawat yang ditumpangi Rena, langit dan Tiara sedang melayang melewati warna biru langit dan menembus warna putih awan, sesekali Tiara memandang kearah jendela. Ia bergumam “ayah, tolong aku”
Setelah menempuh perjalanan selama 2 hari akhirnya rombongan Tiara sampai di Bandara Alzar , Irak. Sebuah bandara dengan suasana yang sangat jauh dari keramaian mungkin ini imbas dari perang Irak dan Bosnia-Herzegovina” ucap Rena saat mengangkut tasnya yang sangat berat. Mereka bertiga langsung menuju Hotel Al Rasheed tempat dimana mereka akan menginap.
Keesokannya seorang warga memberitahukan seluruh penghuni hotel untuk cepat mengungsi karena rudal Amerika telah datang dan akan sangat membahayakan bagi mereka untuk bertahan disini. Pun dengan ketiga jurnalis ini yang  segera bersiap – siap untuk meliput dan mengambil gambar di lokasi itu. Langit langsung menyiapkan kameranya ketika sudah sampai di bunker di bawah hotel Al Rasheed bergabung dengan para pengungsi dari kalangan warga Irak . Saat itu Rudal dari pihak pasukan koalisi pimpinan Amerika meluncur, hanya sekitar 15 meter dari kepala Tiara Saat membuka liputannya di Baghdad, Irak pada hari pertama pecahnya perang Teluk, januari 1991. Kemudian dari arah yang berlawanan datang sebuah rudal antirudal, yang menurut dugaan warga Irak – yang ikut mengungsi – adalah milik tentara Irak  sedang meluncur dan menghantam rudal pertama. Akibatnya ledakan hebat tak bisa dipungkiri sampai menggetarkan gedung – gedung sekitar. Di dekat mereka banyak wartawan – wartawan dari media lain yang juga ikut meliput. Namun setelah malam pemboman banyak dari  jurnalis itu buru-buru pergi meninggalkan Irak ke negara tetangga Yordania, yang merupakan daerah aman. Tiara pun sempat melihatnya.
“Itu manipulatif” ucap Langit sambil mengganti corong   kameranya, “mereka tidak idealisme dengan sekedar aksi dan hanya ingin memenangkan persaingan bisnis antarmedia” Rena mengeluarkan suaranya sambil melihatkan pada kami sebuah tulisan yang dimuat pada suatu harian  surat kabar “laporan wartawan kami dari Baghdad, Irak”. Hal ini jelas penipuan terhadap pembaca, apapun motifnya. Kita  yang bertahan di Irak justru tidak bisa mengirim berita, karena di tengah pemboman hebat tidak ada sarana listrik, fax, apalagi internet” Langit tidak terima “sudahlah yang terpenting sekarang kita tidak boleh manipulatif seperti ini, meskipun tidak ada internet dan listrik sama sekali kita jangan pesimis” Tiara menyeruput kembali susu khas Irak yang ia dapat dari seorang ibu tua yang baik di tempat pengungsian.
“Lihat, rudal itu kembali datang”teriak salah satu pengungsi yang mudah Tiara mengerti karena sudah mempelajari bahasa mereka sebelumnya.
Peluncuran rudal masih saling terjadi, dan pemboman seperti yang terlihat di sudut bangunan itu dan tempat pengungsian di bunker Hotel Al-Rasheed menjadi tempat yang aman untuk warga Irak ini berlindung, memang suasana disini cukup mengerikan dan dentuman itu masih kami dengar  , dari Bhagdhad Tiara Sonia Prabangsa melaporkan.
“Kita harus kesana” Rena  begitu berapi – api ingin meliput dekat pertempuran rudal itu. “tapi, ren akan sangat berbahaya kalau kita meliput disana” Tiara sangat khawatir , “tapi ini demi Indonesia, tugas kita sungguh mulia untuk ini” mereka  pun pergi dekat dengan posisi pasukan Amerika saat itu, bahkan  sangat dekat menurut Tiara. Sedangkan Langit mencari tempat yang aman untuk mereka bernaung. Kata Rena ada benarnya, Tiara sangat berkesan ketika ia bisa mendapatkan berita yang sangat jarang didapatkan oleh jurnalis – jurnalis lain meski sebagian ingatannya akan perang 11 Maret masih muncul tapi ia telah berani. Begitupun Langit yang keliatan bersemangat untuk mengambil gambar. Tapi tiba – tiba dentuman pelor berbunyi tepat kearah mereka, “Rena! Bahaya disana!” sergah Tiara. “ya tuhan “ ucap Langit berkali – kali sambil keadaan kameranya yang masih merecord. Tiba – tiba salah satu  pelor  mengarah pada Langit hingga membuatnya  ambruk ke tanah “Langit!” teriak Rena dan Tiara berbarengan. Langit yang mengira hidupnya akan habis di tanah perang ini menyuruh Rena dan Tiara meninggalkannya “tolong ambil kamera ini, pokoknya harus sampai ke Redaktur dan Indonesia”. Namun sia – sia karena Rena mencari P3K di ranselnya dan segera mengeluarkan pelor di kaki Langit yang membuatnya tambah sakit  “cepat pergi..arghhh!” ucap Langit pada Rena dan Tiara. Namun ucapan Langit tetap  sia – sia juga karena  Tiara keburu merobek sebagian bajunya dan menggunakan sobekan itu untuk membalut luka di kaki Langit “kita harus terus bersama, datang ke tempat ini bersama dan pulang dengan selamat bersama” Tiara masih membalut luka di kaki Langit, Langit menangis untuk pertama kalinya menahan rasa sakit dan ketakutan. ”tapi berita ini paling penting” Langit mengerang karena sakit. Saat itu Tiara tersadar bahwa  Profesi jurnalis yang idealis memang beresiko dan  menyerempet-nyerempet bahaya. Darah Langit makin banyak merembes keluar kemudian Rena dan Tiara dengan cepat membawanya ke tempat pengungsian. Syukurnya perjalanan mereka untuk kembali ke tempat pengungsian begitu dimudahkan oleh Tuhan dan oleh  orang – orang di pengungsian tampak panik dan cemas lalu berusaha membantu mengobati luka Langit.
1 minggu kemudian..
Setelah peliputan itu, tiara kembali ke Indonesia dengan selamat dan kini sedang mengisi mata kuliahnya yang tertinggal begitupun Rena dan Langit yang  megambil mata kuliah cinematografi  yang sama sepertinya di salah satu Institut  terbaik di Jakarta, Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sementara itu, IKJ mengadakan workshop tahunan tentang sastra,  di kelas sastra Tiara saat itu sedang  berdiri seorang professor yang bernama Linda Young tampak  sedang membagikan ilmu sastranya kepada mereka.
Apa yang membuat kalian mengambil cinematografi? Dalam perfilman sastra menjadi penguat cerita, dunia hambar tanpa sastra, tanpa sastra pun kalian tidak akan mengenal dongeng, tidak ada imajinasi atau fiksi, tidak ada pers. Sastra, media rekam semua jadi satuan yang utuh dan saling mengikat. Seperti hidup kalian yang butuh sastra. Jadi buat film kalian hidup.
Setelah peliputan perang  itu nama Tiara, Rena dan Langit cepat dikenal dan acap kali diundang stasiun – stasiun TV Indonesia bahkan diberi kepercayaan untuk mengisi salah satu harian terbesar di Inggris. Perjuangan mereka meliput sungguh membuat bangga sejarah jurnalis dan Indonesia. Ada jurnalis hebat, yang berani mengambil risiko, dan siap mempertaruhkan nyawa demi idealisme. Tetapi, ada juga jurnalis yang bersedia “berkompromi” demi sekadar aksi, agar dianggap hebat, dipuji oleh atasan, atau memenangkan persaingan bisnis antarmedia  -  yang dilihat Tiara sewaktu di Irak - . Kini mereka menjadi “selebritis dadakan,” ketika liputannya disaksikan jutaan orang dan memberi dampak besar, namun cukup beresiko. Bukan cuma risiko dibreidel atau dilarang terbit, tetapi juga risiko langsung kehilangan nyawa.
Terimakasih Tiara, semangatmu bangkit dari keterpurukan dan luka telah mengantarkanmu pada sebuah nasionalisme hingga membuat bangga bumi perthiwi ini.
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata.




0 comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

About

Copyright © Hello It's Me NooBi Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger